Telah diketahui umum jika Benjamin Franklin turut berjasa dalam membantu membuat naskah Deklarasi Kemerdekaan AS dan pernah dikirim sebagai diplomat untuk Perancis yang bertugas untuk meminta bantuan selama terjadi Perang Revolusioner.
Beliau adalah seorang pria Renaisance (Bapak Kebangkitan) dengan banyak predikat, yakni kolumnis di surat kabar, pengarang, ilmuwan dan penemu (diantaranya kacamata yang dapat melihat jauh dan dekat dan penangkal petir), politisi serta diplomat. Beliau juga mendirikan perpustakaan umum Amerika yang pertama dan departemen pemadam kebakaran, dan terakhir beliau masih dapat kita jumpai disaat kita cukup beruntung untuk mendapatkan uang lembaran seratus dollar AS.
Yang tak banyak diketahui umum, mungkin adalah Benjamin berusaha hidup dengan aphorisme (sebuah pemikiran orisinil, baik itu berupa perkataan ataupun tulisan yang dibuat singkat dan mudah diingat) yang masih populer hingga saat ini.
Didalam buku karangan Lee Lothrop, The True Story of Benjamin Franklin, terdapat kisah masa kecil Benjamin.
Ketika Benjamin masih seorang bocah kecil, dia dan temannya sepakat bahwa suatu hari nanti agar dapat menangkap ikan kecil Minnows, mereka perlu membangun sebuah dermaga pancing.
Mereka akhirnya menemukan tonggak-tonggak batu yang sangat sesuai untuk dermaga mereka, dan menyeretnya ke rawa tempat mereka biasanya memancing. Berkat kerjasama yang baik, akhirnya sebuah dermaga pancing berhasil didirikan.
Akan tetapi sayangnya, batu-batu tersebut ternyata adalah milik seseorang yang akan digunakan untuk membangun gudang bawah tanah rumahnya yang baru.
Dikarenakan ide mendirikan dermaga pancing itu berasal dari Ben, maka dialah yang terkena hukuman. Akan tetapi Ben masih tidak bisa menerimanya dan terus berdebat dengan ayahnya. Ben mengatakan bahwa batu-batu tersebut tergeletak sembarangan di sana, sedangkan mereka sangat membutuhkan sebuah dermaga pancing.
Ben sangat yakin dia tidak melakukan perbuatan yang salah. Akan tetapi dia tidak berhasil meyakinkan ayahnya. “Batu itu bukan milikmu, Ben,” kata ayahnya. “Sesuatu hal yang tidak lurus tidak dapat memberikan manfaat yang sesungguhnya.”
Insiden ini telah membentuk aphorismenya yang terkenal, “Kejujuran adalah kebijakan yang terbaik.”
Kalimat ini bukan datang dengan mudah dari mulut Ben, akan tetapi telah menjadi salah satu panduan prinsip hidupnya.
Pada usia 20 tahun, Benjamin memutuskan untuk memetik 13 kebijakan yang menjadi panutan hidupnya :
Kesederhanaan. Makan jangan sampai tumpul. Minum jangan sampai ketinggian.
Hening. Berbicara namun ada manfaat bagi orang lain maupun diri sendiri. Menghindari pembicaraan yang tak berguna.”
Teratur. Biarkan seluruh bendamu memiliki tempatnya masing-masing. Biarkan tiap-tiap urusan Anda memiliki waktu.
Resolusi. Melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Melakukan secara pasti apa yang telah diputuskan.
Hemat. Tanpa mengeluarkan biaya namun telah melakukan hal baik terhadap orang lain ataupun diri sendiri.
Rajin. Jangan kehilangan waktu. Selalu menggunakan sesuatu yang bermanfaat. Perbuatan yang tak perlu, jangan dilakukan.
Tulus. Jangan melakukan kebohongan yang menghancurkan. Berpikir polos dan tepat guna, jika Anda berbicara, bicaralah dalam jalur.
Keadilan. Jangan menyalahi orang lain dengan cara melukainya atau menghilangan manfaat.
Tidak Berlebihan. Hindari ekstrim. Menahan luka amarah sebanyak yang Anda anggap pantas.
Bersih. Senantiasa menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan sandang.
Damai. Jangan merecoki hal sepele, atau kecelakaan biasa maupun hal yang tidak dapat dihindarkan.
Suci. Tidak selalu mengejar kesehatan dan keturunan (maksudnya tidak terikat), jangan melakukan hal kebodohan, kelemahan atau merugikan diri sendiri atau orang lain.
Rendah hati. Tirulah Jesus dan Socrates. (maksudnya Orang Suci dan Bijak)
Benjamin membawa filosofi hidupnya dalam seluruh perbuatannya, bahkan dalam dunia perpolitikannya.
Ben sangat mempedulikan masalah kecurangan dan kebajikan. Ben mempercayai bahwa negara republiknya hanya dapat bertahan jika orang menjauhi kecurangan dan menjunjung etika moralitas yang baik dan memikirkan kepentingan umum.
Meskipun begitu Ben menyadari bahwa hanya ada segelintir orang yang dapat menjunjung standar tinggi tersebut.
Menurut pengamatannya, “Para pria utamanya menganggap bahwa ketertarikan dirinya terhadap negara mereka adalah satu kesatuan, dan bukanlah tindakan dari Prinsip Kebajikan.